Jumat, 11 November 2011

Memasak = Menurunkan Nilai Gizi??

Memasak atau mengolah makanan tentunya sudah biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Mengolah makanan bertujuan untuk meningkatkan daya terima, daya cerna, dan membunuh bakteri patogen. Beberapa jenis pengolahan yang dikenal di masyarakat diantaranya dengan cara direbus, ditim, dikukus, digoreng, dipanggang, dibakar, dan sebagainya. Akan tetapi, mengolah makanan tentu akan berpengaruh terhadap kandungan gizi bahan pangan yang diolah.
Beberapa proses pemanasan seperti penggorengan, oven, perebusan dilaporkan memberi efek yang merugikan terhadap nilai gizi seperti pada cerealia, minyak biji kapas, dan pakan ternak. Efek tersebut karena reaksi antara amino group dari asam amino esensial seperti lisin dengan gula reduksi yang terkandung bersama-sama protein dalam bahan pangan, yang disebut reaksi Maillard. Pemanasan lebih lanjut dapat menyebabkan asam amino : arginin, triptofan, dan histidin bereaksi dengan gula reduksi. Ketersediaan lisin dan asam amino dari protein yang diproses dengan pemanasan lebih kecil daripada protein yang tidak diproses karena terjadinya reaksi Maillard.
Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino, cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif. Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator, antioksidan, radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil. Beberapa reaksi yang tidak diinginkan dapat dikurangi. Penstabil seperti polifosfat dan sitrat akan mengikat Ca2+, dan ini akan meningkatkan stabilitas panas protein whey pada pH netral. Laktosa yang terdapat pada whey pada konsentrasi yang cukup dapat melindungi protein dari denaturasi selama pengeringan semprot (spray drying).
Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanasakan pada suhu yang moderat (60-90oC) selama satu jam atau kurang. Denaturasi adalah perubahan struktur protein dimana pada keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein tidak lagi memiliki struktur sekunder, tersier dan quarterner. Dari segi gizi, denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya cerna dan ketersediaan biologisnya. Pemanasan yang moderat dengan demikian dapat meningkatkan daya cerna protein tanpa menghasilkan senyawa toksik. Disampingitu, dengan pemanasan yang moderat dapat menginaktivasi beberapa enzim seperti protease, lipase, lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase dan enzim oksidatif dan hidrolotik lainnya. Jika gagal menginaktivasi enzim-enzim ini maka akan mengakibatkan off-flavour, ketengikan, perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan selama penyimpanan.
Pemasakan karbohidrat diperlukan unutk mendapatkan daya cerna pati yang tepat, karena karbohidrat merupakan sumber kalori. Pemasakan juga membantu pelunakan diding sel sayuran dan selanjutnya memfasilitasi daya cerna protein. Bila pati dipanaskan, granula-granula pati membengkak dan pecah dan pati tergalatinisasi. Pati masak lebih mudah dicerna daripada pati mentah.
Dalam pengolahan yang melibatkan pemanasan yang tinggi karbohidrat terutama gula akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non enzimatis). Faktor pengolahan juga sangat berpengaruh terhadap kandungan karbohidrat, terutama seratnya. Beras giling sudah barang tentu memiliki kadar serat makanan dan vitamin B1 (thiamin) yang lebih rendah dibandingkan dengan beras tumbuk. Demikian juga pencucian beras yang dilakukan berulang-ulang sebelum dimasak, akan sangat berperan dalam menurunkan kadar serat. Pengolahan buah menjadi sari buah juga akan menurunkan kadar serat, karena banyak serat akan terpisah pada saat proses penyaringan.
Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-196 oC) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng berlangsung dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap minyak goreng tergantung pada kadar gliserol bebas. Titik asap adalah saat terbentuknya akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan.
Dengan adanya anti oksidan dalam lemak seperti vitamin E (tokoferol), maka kecapatan proses oksidasi lemak akan berkurang. Sebaliknya dengan adanya prooksidan seperti logam-logam berat (tembaga, besi, kobalt, dan mangan) serta logam porfirin seperti pada mioglobin, klorofil, dan enzim lipoksidase maka lemak akan dipercepat. Kecepatan oksidasi berbanding lurus dengan tingkat ketidak jenuhan asam lemak. Asam linoleat dengan 3 ikatan rangkap akan lebih mudah teroksidasi daripada asam lemak linoleat dengan 2 ikatan rangkapnya dan oleat dengan 1 ikatan rangkapnya. Pada minyak kedelai kurang baik dijadikan minyak goreng, karena banyak mengandung linoleat. Sedangkan minyak jagung baik digunakan sebagai minyak goreng, karena linoleatnya rendah. Untuk mengatasi masalah pada minyak kedelai, maka dilakukan proses hidrgenasi sebagian untuk menurunkan kadar asam linoleatnya.
Proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan. Demikian juga dengan asam lemaknya, baik esensial maupun non esensial. Kandungan lemak daging sapi yang tidak dipanaskan (dimasak) rata-rata mencapai 17,2 %, sedangkan jika dimasak dengan suhu 60 oC, kadar lemaknya akan turun menjadi 11,2-13,2%.

Sumber:
Kuliah Percobaan Makanan oleh Bu Sri Ana M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar